Banyuwangi, -Oknum pejabat pemerintahan yang melakukan perbuatan - perbuatan immoral karena rakus akan meteri, kekauasaan atau bahkan karena loyal terhadap tuan nya beserta kroninya. Jenis immoral yang nampak ke permukaan dalam sebuah jabatan pemerintah terkemas dalam wajah yang lebih luhur. Alih - alih immoral itu dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk melayani kebaikan publik atau kepentingan rakyat.
Masalah tangan - tangan kotor melanggar prinsip - prinsip moral itu biasanya menyangkut para pucuk pimpinan, baik itu pimpinan politik maupun di kepemimpinan yang ada di wilayah.
Dalam drama karya Sartre yang memberikan suatu nama modern, pemimpin partai revolusioner - lah yang memiliki tangan kotor sampai batas siku. (Jean - Paul Sartre, '' Dirty Hands", dalam No Exit and Three Other Plays, terj.Lionel Abel (New York: Vintage, 1960), hlm.224).
Dalam sebuah jabatan yang melekat pada diri seorang pejabat, mereka bertindak berdasarkan dua macam prinsip. Demi kepentingan atas nama warga negara atau masyarakat yang diwakilinya. Para oknum pejabat diizinkan, bahkan dituntut untuk berbohong atau tidak menepati janji. Contoh yang sering kita lihat saat pemilihan Bupati maupun calon legislatif. Para calon banyak mendengungkan janji - janji manis para masyarakat agar tujuan para calon tersampaikan dan terpilih. Namun saat sudah terpilih, mereka lupa akan janji - janji manis saat statusnya masih calon. Atau contoh lain saat pejabat menawarkan solusi pada masyarakat namun juga tidak segera ditepati. Cara - cara ini melindungi para pejabat dari cara kuno yang justru mengotori tangan mereka.
Baca juga:
Surya Paloh: Anies, Kau Jangan Menyerah
|
Para oknum pejabat yang melanggar hukum dapat kadang - kadang mengklaim bahwa dirinya kebal hukum berdasarkan landasan etis, berdasarkan karena ada seseorang yang memberikan perlindungan atau jaminan aman, namun disisi lain landasan etis yang dimaksud menolak hak kekebalan itu.
Tak sedikit kita melihat jabatan politis yang melekat pada pejabat seringkali disalah gunakan untuk kepentingan pribadi, kelompok atau organisasi. Hal ini juga terkadang digunakan untuk menekan persoalan hukum yang melilit oknum pejabat yang memiliki kedekatan dengan pejabat pemangku politis. Pelaku tangan - tangan kotor ini seoalah leluasa untuk merasuk ke dalam hati yang bersih para punggawa penegakan hukum.
Seperti bentuk - bentuk akuntabilitas lain, mediasi berusaha membuat gerakan tangan - tangan kotor menjadi sebuah demokrasi. Pengambilan keputusan atau kebijakan yang diambil dapat diperkuat dengan membatasi lamanya ( duration ) kerahasiaan.
Khusus untuk Banyuwangi, apakah ada oknum - oknum yang menerapkan tangan - tangan kotor bahkan hingga ke siku?. Kita telisik berapa jumlah pejabat yang bermasalah hukum dan seolah kebal hukum. Berapa laporan masyarakat terkait dengan dugaan persoalan hukum yang dilakukan oleh oknum pejabat, dan ditindak serta berapa persen penyelesaian penanganannya. Ini akan menjadi tolak salah satu tolak ukur atau cerminan bahwa berapa persen tangan - tangan kotor yang ada atau bahkan tidak ada sama sekali.
Selain itu, kita sebagai masyarakat harus berpikir kritis dengan analisa yang diimbangi data. Bagaimana agar kita bisa membaca anggaran, menyikapi kebijakan pejabat yang tidak pro masyarakat dengan cara arif dan bijak. Contoh sederhana, berapa nilai hibah yang diterima oleh pemkab Banyuwangi dan serapan dari hibah itu apa bentuknya. Meskipun hibah merupakan produk yang dipayungi Undang - Undang, namun bagaimana teknis di lapangan?. Masih banyak hal selain hibah yang perlu diketahui masyarakat seperti Pendapatan Asli Daerah itu berapa, didapatkan dari mana saja, dan setara tidak dengan pembangunannya. Jika tidak, kenapa dan ada apa?. Lalu ada berapa perda yang dilahirkan, dan adakah jumlah uang yang dikeluarkan dalam pembuatan perda tersebut. Jika ada berapa dan setarakah dengan uang yang sudah dikeluarkan.
Kritis itu sah saja, namun jika bisa ktitis yang solutif bukan kritis yang ber kolusi dan penuh konspirasi.
Veri Kurniawan ( FOSKAPDA )